Selasa, 16 September 2008

PERAHUKU

Mardi Luhung
Jurnal Nasional 14 Sep 2008

Umi dan Abi pergi ke taman kampung. Umi berkebaya sedap. Abi berbaju koko. Kata keduanya: “Kami ingin naik sepur kelinci yang panjang!” terus tersenyum. Senyum yang lepas. Dan membuntut di belakang sepur kelinci yang panjang itu. Seperti buntut layang-layang yang tertempa oleh angin. Meriah dan menyala. Dengan warna yang terang. Warna yang ketika masuk ke dalam mimpiku, akan mewarnai relungnya. Sampai membuat mimpiku merajuk: “Tolong, jangan, jangan bangunkan aku dari ini semua!” Dan senyum yang mengingatkan aku pada yang bertumbuhan di kelebatan bulumu. Yang kerap kau warnai. Yang sesekali menggumpal. Dan sesekali bergerai. Meluncurkan perahuku yang aku anyam dari puisi.

Perahuku yang aku anyam dari puisi?

Ya, ya, perahuku memang aku anyam dari puisi. Puisi yang kata-katanya aku petik dari butir embun yang menetes. Jatuh ke sayap kepik. Memantul. Dan membuat rona yang kelap-kelip. Rona yang sering memasuki mata. Membangun sebuah kolam air yang lonjong. Kolam air yang jernih. Yang kata kabar, tempat tujuh bidadari turun dari surga dan keramas di situ. Lalu seorang pemburu datang. Menembakkan senapannya. Tujuh bidadari pun lenyap sambil menebar ancaman: “Seumur-umurnya, kau, pemburu, akan terlunta-lunta. Seperti terlunta-luntanya si penjual. Sebab telah menjual si orang suci dengan dua karung keping emas. Dua karung keping emas yang kelak akan menjelma besi yang menggembol di punggung!”

Dan si penjual yang kelak akan turun-naik bukit. Sebab dikejar sesal. Diburu awas: “Aku tak sengaja! Aku tak sengaja, menjual si orang suci itu!” terus hilang di balik hutan onak. Dan sekian abad ke depan, rimbun hutan onak itu akan menjadi teka-teki. Teka-teki tentang pengkhianatan sebuah kesetiaan. Juga pembalasan kekelabuan yang ada di tempat yang tak terjangkau. Kekelabuan yang sesekali muncul di dalam angan atau di sela genta. Genta yang digoyang-goyang oleh si pengkotbah. Yang sering berkotbah semacam ini: “Bangun, bangunlah hai orang yang lalai mendengar. Orang yang selalu berjalan di musim panas dan dingin. Di musim yang selalu membuat kau menjadi menghormati setiap yang layak untuk dihormati!”

Tapi selamu: “Apa perahumu yang meluncur itu punya kemudi?” Wah, aku tak menggubris. Sebab, aku tetap terpukau pada Umi dan Abi. Yang asyik di sepur kelinci yang panjang itu. Lihatlah, keduanya bahagia. Ada musim panen yang tak mau pamit. Dan ada kibaran benderang di musim itu. Yang di bawahnya, kebun palawija dan rempah pun saling hilir dan sihir. Kebun palawija dan rempah yang dijaga si orang-orangan yang terus menegak. Si orang-orangan yang punya tangan dari jerami. Sedang, topinya pun tampak kebesaran. Menutupi wajahnya yang terbikin dari labu kering. Labu yang cokelat dan keling. Seakan menyimpan hangat matahari. Matahari yang pernah diketapel oleh si anak nakal. Dan gumpilannya dipungut untuk diberikan kepada si adik. Yang berkilah: “Kakak, Kakak, ayo, ketapelkan matahari untukku!”

Dan waktu itu, si adik berbaju kuning. Berpita merah. Dan bersepatu putih. Tanpa kaos kaki dan topi. Dari lentik matanya, seperti ingin meringkus setiap yang dipandangnya. Untuk kemudian dilipat dan diremas-remas menjadi secangkup lempung basah. Lempung basah yang akan dengan mudah dijadikan rumah dengan segala isinya. Termasuk juga dua ekor kucing gemuk. Kucing yang selalu ditemui di genting. Ketika gerhana bulan tiba. Dan musim kawin membuka selubungnya.


Selanjutnya, menurut bisik-bisik, setelah si adik menerima gumpilan matahari, pun menelannya. Dan seketika itu pula, si adik pun menjelma cahaya. Cahaya yang melintas. Melintas dengan kecepatan yang tinggi. Seperti seekor naga yang bergegas. Naga yang menyala yang menggores angkasa di malam hari. Dan menurut bisik-bisik yang lain, jika siapa saja melihat goresan di angkasa itu, maka setiap permintaannya akan terpenuhi. Oleh karenanya, tak salah jika goresan di angkasa itu dirindukan bagi yang ingin merengkuh harap. Termasuk juga meringkus cemas. Dan doanya adalah: “Naga lewat, semua selamat. Naga pergi, jangan melambai. Segala amanat, tak terkhianat!”

Dan kelak, siapa saja tahu, jika naga itu akan berhenti di sebuah negeri. Kawin. Beranak. Dan mati dalam wujud seonggok batu. Batu bening yang tersepuh binar keemasan. Batu yang selalu diziarahi para pasangan kekasih. Agar mereka tetap setia. Sampai kakek-kakek dan nenek-nenek. Sampai di antara mereka ada yang mengembuskan napas terakhir. Dan berbisik: “Aku tunggu kau, aku tunggu kau. Tak ada yang bisa melenyapkan kenangan kita. Sebab, sekali telah tertulis di jantung ini, siapa yang mampu menghapusnya…”

Lalu, aku berangan: “Apa kelak kita bisa sebahagia mereka?” Ya, ya, di depan cerminmu aku pun mencoba menelisik tubuhku. Tubuh yang hijau. Hijau yang bening. Dan bening yang menampakkan setiap isi perutnya. Menampakkan dirimu yang ada di balik usus. Dan sergahku: “Mengapa kau bersembunyi di balik ususku? Apa kau tetap tak ingin pulang?” Kau menggeleng. Gelengan yang tak begitu tegas. Apa kau ragu? Apa juga kau punya pilihan yang tak terduga? Pilihan yang selalu muncul-hilang seperti bayangan si burung bul-bul. Si burung bulbul yang membuat segenap kampung ribut. Ingin memburu dan menangkapnya. Agar dapat dijadikan hidangan bagi sang raja. Sang raja yang sakit tapi tak mati-mati. Sang raja yang telah membunuh dan memakan 1.000 istrinya. Sampai istri yang ke-1001 datang dan menyadarkannya. Menyadarkan dengan hikayat yang sambung-bersambung. Hikayat yang kelak akan dibaca oleh siapa saja yang percaya pada cinta dan pengorbanan. Hikayat yang menempel di sebentuk potongan tangan.

“Tapi, aku juga mengenal potongan tangan yang lain?” sergahmu tiba-tiba.

“Potongan tangan yang lain! Potongan tangan apa?”

Ternyata dari sergahanmu itu, aku jadi tahu, jika potongan tangan yang lain, yang kau kenal itu telah gosong. Keling, liat dan cenderung ingin menangkapi angin. Dan antara membuka dan menutupnya seperti tak berbeda. Sama-sama normal tapi bebal. Potongan tangan yang pernah diceritakan saat dunia masih dihuni para penyihir. Yang menyihir tongkat jadi ular. Ular jadi belalang. Belalang jadi gunung. Gunung jadi rumput. Rumput jadi kambing. Kambing jadi kembang. Kembang jadi kayu. Kayu jadi angin. Angin jadi genting. Genting jadi kodok. Kodok jadi pipi. Pipi jadi ludah. Ludah jadi daging. Daging jadi jalan. Dan jalan jadi jarak panjang yang berkelok. Jarak panjang yang pergi tapi tak pernah pulang. Terus dan terus melangkah. Ke mana? Lagi-lagi tak jelas.

Dan akh, ketika aku ingin tahu itu potongan tangan milik siapa? Kau pun cuma menunjuk pada si bugil yang datang dari arah lain. Si bugil yang kerahasiaannya telah tersilang. Yang lehernya jenjang. Tapi, justru di leher itu selingkar ijuk terlingkar. Dan si bugil yang seluruh tubuhnya berwarna selang-seling. Ada hijau, kuning, cokelat, merah, jingga juga ungu. Yang menyalanya silih-ganti. Tergantung pada tempat yang ditempatinya. Jadi, barangkali si bugil mirip bunglon yang berwujud manusia. Bunglon yang pernah dibisikkan oleh si pengigau. Ketika dua kupingnya telah diiris sendiri. Dan ketika di ubun-ubunnya telah melingkar asap berat. Yang sesekali menjelma mulut buas. Sesekali lain, menjelma bibir yang merangsang.

Lalu potongan tangan gosong itu pun menarik ijuk yang melingkar di leher si bugil. Sampai si bugil mendekat. Menjilat. Dan menyergah: “Kekasihku, kerinduan kita untuk menjadi sepasang mambang, adalah kerinduan yang begitu melelahkan. Padahal, pantai demikian jauh. Kelenyapan demikian merayap.” Seperti rayapan seekor cecak di tembok licin. Pelan, pelan, pelan dan pelan. Sambil mendengarkan tangisan manja si wanita pada si lelakinya. Tangisan manja yang selalu bertanya seperti ini: “Sayang, cecak itu bicara apa? Adakah dusta? Adakah luka? Adakah yang tak terketahui padaku?” Ya, karena si lelakinya cuma tersenyum, maka saat itu juga, si wanita pun mengakhiri hidupnya persis di bawah patung si dewa kasmaraan.

Si dewa kasmaran yang pernah menikam ayahnya yang berwujud anjing. Lalu menendang sampan jadi gunung. Sebab tak tahu, jika dia mencintai soal yang salah. Padahal, menurutnya, cinta bukan merupakan sebuah kekeliruan. Melainkan, sebuah rasa yang tak diketahui: dari mana datangnya, siapa yang mendatangkannya, dan mengapa mesti datang? Dan mengapa pula, bagi setiap yang didatangi selalu mesti berpikir dulu. Dan mesti mencari jawab, pada orang-orang suci yang telah menusuk dua matanya. Agar menjadi buta dan tidak dibutakan oleh cinta. Grrrrrhhh, si dewa kasmaran benar-benar marah waktu itu.

Malamnya, taman kampung pun padam. Pengunjung pulang. Dan sepur kelinci yang panjang itu pun teronggok seperti bangkai. Bangkai yang melingkar. Bangkai yang tak lagi punya kekuatan dan daya. Kecuali pasrah dan menerima segala tiba. Apakah nanti menjadi padam, remang atau malah sesekali menggeliat. Seperti digeliatkan oleh sesuatu yang tak pernah putus. Sesuatu yang pernah menulis setiap nama (termasuk namaku dan namamu), di selembar daun. Sedangkan, dari kursi bekas yang dipakai Umi dan Abi, aku melihat tangan gosong dan si bugil itu sedang berpelukan. Berpelukan lama. Lama sekali. Dan dari balik remang, pelukan keduanya mengingatkan aku pada sebentuk lambang purba. Dari sebuah hutan yang selalu ditakaburi bandang.

“Mengapa kau masih bersembunyi di balik ususku?”

Perahuku yang aku anyam dari puisi pun terus meluncur.


Ya, ya, perahuku yang aku anyam dari puisi memang terus meluncur. Meluncurkan diriku. Juga meluncurkan dirimu yang bersembunyi di balik ususku. Dan perahuku ini melewati setiap ketinggian yang membentang. Ketinggian yang begitu luas. Dan begitu membuat dirinya kelak akan menjelma debu. Debu alit. Debu yang segera meragukan diri sendiri. Apakah benar dirinya terus bisa meluncur dan bahagia? Atau malah remuk dan lenyap disaput waktu.

Disaput waktu!

(Gresik, 2008)

Read More......

SORE INI SEPEDAKU MENABRAK DINDING

Mardi Luhung
Jawa Pos, Maret 2008

sehabis bercinta januari 2008

Sore ini sepedaku menabrak dinding. Tapi tak terguling. Terus menembus dan menggelinding. Menuju ke kedalaman laut. Di kedalaman itu sepedaku terus aku kayuh. Melewati koral, terumbu dan karang. Sekian duyung yang montok melambai. Dan sekian mambang yang melayang. Melayang dengan siripnya. Pun menggerakkan cahayanya. Cahaya yang warna-warni. Seperti warna-warninya pelangi yang pernah aku kirimkan ke lembah-lembah tempat kau berada. Mungkin kata mereka: “Pengelana itu telah sampai kemari. Lihatlah gayanya. Lihatlah lagaknya. Adakah yang menyamainya dalam lekuk?”

Dan perkataan mereka ini masuk ke kupingku. Seperti masuknya sepur kelinci. Sepur kelinci di taman kampung. Sepur kelinci yang panjang dan berkelokan. Yang bunyinya tut-tut-tut. Dan sekian kanak yang menumpangnya pun melambai-lambaikan tangannya. Melambai pada siapa? Pada awan. Pada jalan. Atau pada yang tak tampak oleh pandanganku. Tapi begitu nyata oleh pandangan sekian kanak itu. Pandangan yang kerap membuat bulu roma berdiri. Ketika sekian kanak itu berkata:
“Ayah, lihat itu Eliza, masuk ke kamar lewat genting,”
“Ayah, lihat itu Eliza menangis. Air matanya terbang kayak laron,”
“Ayah, Ayah, lihat itu Eliza. Punya taring mungil. Tanduk mungil. Sayap mungil,”
“Ayah, lihat, lihatlah…”

Tapi, aku terus mengayuh sepedaku. Kedalaman laut terasa begitu hijau. Sehijau hutan ilalang yang pernah aku hidupkan di pikiran. Hutan ilalang tempat aku pernah menemui si perempuan yang telah menggunting rambut panjangnya. Dan membasuhkan guntingan rambut itu ke lambung yang berdarah. Lambung yang kata si perempuan, mengingatkan pada lambung si tukang kayu yang tergila-gila pada bapak. Bapak yang ada di entah. Bapak yang entah siapa.

Dan bapak yang telah pergi tepat si tukang kayu lahir. Dan bapak yang sampai kini tak dikenal bentuk rupanya. Apakah segi tiga, lonjong, bundar atau kelimis, kasar, dan gundul. Dan bapak, yang apakah sempat, memberi nama padanya atau tidak. Mengelus kepalanya atau tidak. Lalu berbisik: “Anakku, jadilah orang yang baik. Dan jika besar jadi juga orang besar yang budiman. Yang tak suka berbohong. Sebab, ingat, hidup sudah susah. Apa matimu juga meski susah,”

“Anakku, ingat juga, jika matimu sampai susah, itu artinya, kau tak disuka sorga. Sorga yang punya pohon terbalik. Akar di atas. Buah di bawah. Pohon apa saja. Buah apa saja. Asalkan bukan pohon dan buah yang satu itu. Yang telah membuat kita seperti ini. Mengembara untuk sekedar putar-putar. Untuk sekedar akhirnya kembali mati juga. Mati dikubur dalam tanah. Dengan upacara atau pembelaan. Dengan tangis atau tawa. Dan dengan meninggalkan luka atau suka. Anakku, ingatlah perkataan bapak ini,”

Dan bye, bapak pun melesat pergi lewat pintu belakang. Dan hilang tak berjejak. Ya, ya, kasihan, kasihan sekali si tukang kayu. Yang sampai kini tak tahu rupa bapaknya. Dan sampai kini, juga belum punya nama. Lalu, tiba-tiba: “Pengelana, berhentilah sejenak,” Ada si belut memanggilku. Suaranya cempreng tapi renyah. Si belut itu tak begitu besar. Dan persis di punggungnya, ada semacam kulit yang tembus pandang. Dan dari dalam kulit itu, aku melihat sebentuk mulut yang tergolek. Dua gigi di mulut itu copot. Dan di bagian atasnya ada bekas jahitan. “Tolong, ambillah mulut ini,” pinta si belut. Mulut itu adalah milik si tukang cerita. Yang dulu dirajam oleh kegelapan. Sebab selalu ngotot ingin memasang obor. Obor yang benderang.

Konon, menurut cerita, obor itu milik para dewa. Para dewa yang bersemayam di langit. Dan obor itu dicuri oleh satu dewa yang murtad. Dewa yang punya kelakuan yang mirip sirip hiu. Berkelepak ke sana ke mari. Agar ada yang tersentuh. Dan tergenggam. Seperti bola bekel yang tergenggam. Dan tak lagi bisa melenting. Dan karena obor yang dicuri itu, maka dunia manusia pun menjadi terang dan gelap. Baik dan buruk. Pintar dan bodoh. Dan itu yang membuat manusia paham. Paham untuk memerdekakan dirinya. Jadinya, lambat-laun pun tak lagi butuh para dewa.

Apakah aku percaya pada cerita ini? Bisa ya, bisa tidak. Sebab, aku melihat dunia kini memang seperti selang-seling. Zik-zak. Dan tak jelas arahnya. Seperti ke kanan. Tapi justru ke kiri. Karenanya tak salah. Jika ada yang berpesan: “Bagi yang beriman, dunia adalah kebohongan. Bagi yang tak beriman adalah petak umpet yang mengasyikkan Seperti petak umpet sumur bor yang tiba-tiba mengeluarkan lumpur. Padahal, yang diburu bukan lumpur. Kasihan. Kasihan sekali. He, he, he. Aku pun ketawa geli,”

Dan di saat ketawa itu, datanglah dari arah lain si gurita gemuk. Si gurita gemuk yang berkata begini: “Juga tolong, bawakan pakaian ini,” Dan si gurita gemuk ini punya empat mata. Seperti mata tajam yang pernah aku lihat di sebuah gambar. Yang berpesan tentang mata gunung yang akan meledak. Dengan kalimat: “Jika memang meledak, adakah tempat yang aman?” Dan lewat tatapan yang sekilas, aku merasa jika pakaian yang dimaksud si gurita adalah seragam hitam. Seragam hitam dengan pernik-pernik bersilangan: “Seragam si kapten!”

Seragam si kapten? Ya, memang ada cerita tentang si kapten dalam kapal angker yang penuh lumut. Kapal angker yang melayang semeter di permukaan. Kapal angker yang tak berbentuk. Dan yang selalu mengeluarkan irama murung yang mengenaskan. Irama tentang pemenggalan dan penyaliban. Dan juga tentang tubuh para kelasi yang tak berkepala. Kelasi yang jika haus, langsung menumpahkan sebaskom arak ke tenggorokan. Yang sebagian besar menciprat ke tubuh gempalnya. Kemudian, mereka akan berkelahi sendiri. Bertempur sendiri. Sampai semuanya mati. Sampai semuanya menjadi bangkai. Untuk kemudian dihidupkan kembali pada waktu pelayaran berikutnya.

Pelayaran yang mendebarkan. Dengan ombak-ombak bergulatan. Dengan kegelapan yang bertaburan api. Dan langit, ya langit terbuka. Seperti tempurung kepala yang dikelupas oleh tenaga yang besar. Sampai-sampai setiap yang melihatnya, seperti melihat lorong yang tinggi dan gaib. Yang kata para orang suci, tempat masuk-keluarnya catatan bagi manusia. Catatan baik akan menempel di telapak kanan. Yang buruk di telapak kiri. Dan catatan-catatan itu akan ditembaki si kapten. Agar jatuh dan tenggelam ke laut. Dan agar yang berhak atasnya merasa kebingungan. Hilang arah. Dan menceburkan dirinya ke teluk. Lalu diangkat oleh si kapten. Menjadi kelasi barunya. Kelasi yang tak berkepala itu. Dan seumur-umurnya, kelasi yang tak berkepala itu tak akan pernah bisa pergi dari kapal angker.

Itulah, itulah cerita tentang kapal angker. Dan jika kau ingin tahu tentang kapal angker ini, bukalah jendela rumahmu di malam hari. Tengoklah ke langit sebelah timur. Ke sebelah bintang yang mirip parang panjang. Parang yang lancip. Yang di pinggirnya ada percik-percik yang berkedap-kedip. Itulah bintang penentu jejak kapal angker. Jejak penentu yang selalu muncul, ketika angin tak bertiup. Dan orang-orang yang telah mati menyembul dari tanah. Seperti uap dan kabut kuning. Uap dan kabut kuning yang kerap membentuk bentuk-bentuk yang tak pernah kalian pikirkan.

Bentuk-bentuk yang selalu muncul dan berganti tanpa terkendali. Dan bentuk-bentuk itu akan mengikuti kemana kau pergi. Kemana kau melangkah. Apakah ke beranda. Ke dapur. Ke kamar kecil. Dan bentuk-bentuk itu selalu mengendusi kudukmu. Jadinya, bulu-bulu di kudukmu akan berdiri. Menegak. Seperti tegaknya barisan sungut serangga ketika mengangkat beban makanannya. Untuk dimasukkan ke dalam lubangnya. Lubang yang dipermukaannya begitu terang. Tapi ketika lebih masuk, akan menjadi keremangan. Yang membuat siapa saja cuma bisa meraba-raba. Sambil berharap, akan ada secercah cahaya yang membimbing.

Dan yang perlu kau ketahui juga, bentuk-bentuk itulah yang membuat setiap pelaut akan meminggirkan kapalnya. Bersembunyi dan minum tuak di warung-warung. Pelaut yang punya codet pipi yang biru. Sebiru ketenggelaman yang ada di dalam mimpi setiap pelupa. Setiap yang selalu memanggil dirinya dengan sebutan: “Siapa aku?” Ya, ya, ya, pelaut itu jika mabuk selalu menyebut, siapa aku? Padahal, siapa pun tahu. Jika pelaut itu orang pintar. Cerdas, berwibawa dan nekadan. Dan punya pikiran yang tak lengkang karena umur. Seperti ketak-lengkangan racauannya ini:

“Akulah pelaut. Pelaut garang. Yang tak takut pada ombak dan karang. Akulah pelaut. Yang selalu melawan arah angin dan cuaca dengan dada terbuka. Dada yang jika kau lihat, akan terpacak sebuah goresan. Goresan yang mirip peta. Peta bagi siapa saja yang merasa tak pernah berhenti. Apalagi menambatkan umurnya pada yang disebut rumah yang sederhana dengan istri yang cerewet. Akulah, akulah pelaut. Pelaut yang tak bisa berahasia. Kecuali dengan pisau lipat yang terhunus,”

“Akulah pelaut. Ayo kemari. Menghadap pelaut. Menghadap dengan pasrah atau tidak. Dan mari peluk aku. Kita akan minum dan mabuk. Biar dunia semua jadi tertidur. Dan kita tetap terjaga. Sambil bermain domino. Atau bertaruh dengan taruhan apa pun. Juga bisa, dengan tidak apa pun. Pokoknya kita mabuk. Dan melupakan sejenak, apa itu yang disebut orbit dan daya-daya tarik yang membuat semuanya tetap bersinambungan. Seperti sekumpulan keseharian yang tak terubah. Mari, marilah kemari, mendekat pelaut!”

Gila! Aku pikir, ini racauan yang kacau. Dan daripada semakin kacau, Aku tak menggubrisnya. Aku kayuh saja sepedaku. Tak menoleh pada semuanya. Dalam pandanganku, kedalaman laut ini makin dan makin terasa begitu hijau. Dan aku tak tahu lagi, apakah aku maju atau mundur. Yang aku tahu, aku hanya ingin bertemu dinding yang telah ditabrak sepedaku tadi. Untuk segera menyembul ke tempat semula. Tempat yang penuh dengan kegairahan yang begitu tak terkira. Tempat yang membuat aku selalu memompa nafasku dengan sedalam-dalamnya. Seperti nafas setiap burung yang berkelepak. Berkelepak untuk mencari sarang lamanya. Sarangmu.

Sarang yang begitu telah membuat diriku percaya, jika di setiap aku sampai pada batas. Dan sepeda aku sandarkan. Selalu ada sebentuk sumur yang kau sediakan untuk aku minum. Sumur yang selalu tampak di kegelapan. Seperti cahaya setiap pernik yang tak pernah bisa dilalaikan. Dan yang selalu kau simpan di sekujur lipatan jantungmu. Yang ketika berdetak, tak bosan-bosan untuk berbisik: “Pengelana, lekaslah pulang. Sebelum rembulan muncul. Dan orang-orang kotor itu, membesetnya pelan-pelan…”
Akh, kembali lagi, aku mendengar sekian kanak berkata:
“Ayah, lihat itu Eliza masuk kamar lewat genting,”
“Ayah, lihat itu Eliza menangis. Air matanya terbang kayak laron,”
“Ayah, Ayah, lihat itu Eliza. Punya taring mungil. Tanduk mungil. Sayap mungil,”
“Ayah, lihat, lihatlah…”

(Gresik, 2008)

Read More......

KEPOMPONG

Mardi Luhung
Koran Tempo, 20 Juli 2008

”Sekak! Matilah rajamu. Raja hitam. Hitam yang begitu mencekam. Yang matanya juga hitam. Dan jubahnya berkibar dengan irama saluang. Tepat rembulan bulat penuh. Dan sekian ekor anjing kelabu mengendus-ngenduskan hidungnya,” dan itu kataku. Terus menghisap siasat. Siasat masuk ke paru-paru. Aku tukikkan ke dalam yang paling dalam. Lalu aku hembuskan keluar. Gulungan siasat pun membentuk lingkaran. Lingkaran kecil. Lalu agak membesar. Membesar. Dan buyar. Tapi bau tengiknya tetap bertempat.

“Mati? Kok gampang. Apa kau pikir, raja hitamku seperti cecunguk yang ketinggalan harapannya. Lalu menghunus pedangnya. Dan crap! Menghunjamkan ke lambung sendiri. He, he, he, itu mimpi,” jawabmu. Seakan menjawab teka-teki silang yang sudah ada kuncinya. Dan kau, dengan gesit tapi pelan, melangkahkan bayangan raja hitammu ke petak pojok. Ada kesiur ombak yang menerpa tebing. Dan ada seseorang yang perawakannya kabur melintas. Siapa orang itu. Lelaki ataukah perempuan. Kau cuma ketawa. Dan orang itu pun terus melintas. Dari bekas lintasannya, aku melihat jejak yang begitu dalam. Jejak yang mengingatkan pada langkah si tertuduh. Yang diarak ke setiap kampung. Dengan kepala bermahkota duri. Tapi, mulutnya tak bosan-bosan untuk berteriak: “Ingatlah, jika segalanya telah selesai, hanya ada dua yang terpilih. Mati mendadak atau malah ditelikung!”

Ya, seekor kuda putih muncul dari balik kerahasiaan. Kau pun melirik padaku. Sergahmu: “Kau ingin menunggang kuda putih itukan? Silahkan. Tunggangilah. Dan majukan ke petakku yang penuh jebakan itu!” Akh, sebelum segalanya berlanjut, bentengmu pun menderap ke sisi kiri. Suaranya seperti beton yang menggelundung. Beton yang hanya hadir ketika maut akan menyelinap. “Sekak balik!” sergahmu lagi. Dan kau ketawa. Raja putihku tersekak. Tersekak dengan cara dimuntah-muntahkan. Muntah darah. Muntah nanah. Muntah lendir. Dan muntahan-muntahan itu pun menggenang. Lalu mengalir. Menuju parit. Dan menghilir seperti sungai yang baru lahir. Yang di atasnya, sekian bangkai terapung. Bangkai yang gembung dengan corak warna-warni: amis!


“Aku raja putihmu. Kenapa kau tinggalkan aku?” begitu sebuah suara yang aku dengar di malam itu dari luar rumahku. Rumahku yang tak seberapa besar ini tiba-tiba menjadi dingin. Bulu-bulu kuduk di badanku meremang. Suara siapa itu? Apa benar itu suara raja putihku. Raja putih yang tadi sore telah kalah itu. Dan sekaligus muntah-muntah. Akh, gila! Gila! Ini memang gila! Dan memang, aku rasa, setelah kekalahan tadi sore, aku selalu saja memikirkan langkah-langkah buruk yang membuat aku terjebak. Langkah-langkah buruk yang membuat aku mesti terus-terusan menyesali kekalahan caturku.

Lain itu, dalam permainan catur, kekalahan yang tampak, bukanlah kekalahan yang membekas di badan. Melainkan yang memar di kedalaman pikiran. Seperti layang-layang putus, kedalaman pikiran pun tak bertali. Melimbung. Sebelum akhirnya tersuruk ke tanah. Lalu dirubung gerombolan serangga yang berkilah: “Mangkanya jadi sesuatu jangan selalu terbang melulu!” Dan aku pun jadi bergidik. Diam-diam mencoba untuk mencari jalan keluar dari ini semua. Jalan keluar yang seperti diimpikan setiap siapa saja. Yang merasa jika tak ada lagi kesempatan untuk tetap bertempat.

“Kenapa? Aku raja putihmu,” kembali suara itu terdengar. Dan kali ini, jendela rumahku diketuknya. Suara ketukan itu bukan tok-tok-tok. Tapi, irama ngelangut yang sering mengiringi penari klasik. Penari klasik yang sedang membawakan sebuah tari keputus-asaan. Tari yang jika dilihat selalu menampilkan dekor lenggang. Dengan sebuah lampu sorot. Yang akan menyorot kemana pun penari klasik itu bergerak. Melempar tangan. Memutar kaki. Dan sesekali menggelengkan kepala. Seperti ingin memluntir sekaligus mencopotnya. Aduh, apa yang terjadi, jika penari klasik dapat mencopot kepalanya sendiri? Lalu menendang dan menggiringnya. Seperti giringan dalam sepak bola.

Lalu, antara ragu dan tidak, aku pun membuka jendela rumahku. Di balik jendela telah terpacak sosok bocah. Bocah itu kulitnya ungu. Dan seperti balon yang enteng, bocah itu pun meloncati jendela rumahku. Loncatan yang barangkali lebih mirip dengan mengambang. Saat itu, di kerimbunan pohon rambutan di jalan, ada seekor codot menangkup. Rasanya, codot itu bukan codot biasa. Sebab dari tubuhnya, aku melihat bintik-bintik yang berpendaran. Bintik-bintik yang hanya aku lihat pada leher si monster yang ada di ke dalaman lautan. Si monster yang pernah bertarung dengan si pemancing. Petarungan yang telah disadur oleh si penulis yang punya tangan satu. Si penulis yang setiap mulai menulis selalu menenggak arak, Lalu berlarian sambil mengacung-acungkan kapak. Dan meracau seperti tukang ramal yang meracaukan mantranya: “Atasnya jembatan, bawahnya jurang. Atasnya dimakan. Bawahnya digoyang. Puah! Pergi kau dusta. Masuk kau kata!”

“Kenapa kau tinggalkan aku?” kembali si bocah itu berkata. Dan perkataan itu sepertinya bukan lewat mulutnya. Sebab, ketika perkataan itu aku dengar, mulutnya tetap terkatup. “Tapi, siapa kau bocah?” dan tanyaku balik. Si bocah ketawa. Tubuhnya yang berkulit ungu itu terguncang. Dan astaga, aku baru sadar, jika leher si bocah lebih mirip leher ular. Berlipatan. Dan mempunyai gerak naik-turun. Dan di gerak naik-turun itu, ada gilingan yang terus menggiling. Menggiling setiap yang masuk. Setiap yang akan menjadi adonan. Adonan basah, lembek dan gampang untuk dibentuk sesukanya.

“Aku raja putihmu. Raja putihmu yang telah kalah dalam permainan catur tadi sore. Dan kenapa aku seperti ini? Itu karena aku raja. Raja yang tak boleh mati sebelum papan catur terlipat. Pemain bersalaman. Dan tawa kemenangan memenuhi ruangan. Tanpa tahu, bahwa sebenarnya mereka telah mengorbankan seorang bocah. Kenapa kau tinggalkan aku?”

Apa?! Jadi raja dalam permainan catur itu adalah seorang bocah. Akh, aku tercekat. Aku tak tahu lagi, apa yang mesti aku katakan. Cuma aku merasa, jika apa yang aku alami malam ini seperti sebuah mimpi. Tapi apa benar ini mimpi. Aku cubit tanganku. Wau, sakit! Jadinya, ini bukan mimpi. Ini benar-benar nyata. Tapi, kenapa raja putih dalam catur dapat berwujud bocah? Tiba-tiba, entah darimana, ada sebentang tetoron menyergapku. Aku megap-megap. Tak bisa bernafas. Tubuhku pun jadi enteng. Suara-suara yang tak karuan silih-masuk ke kupingku. Kadang jerit. Kadang ketawa. Kadang menangis. Dan kadang tak jelas, apa itu suara seseorang ataukah bukan. Dan yang lebih aneh, aku merasa seluruh bagian tubuhku pun memelar.

Tanganku merengkuh cemara. Leherku menjulur sejangkung gedung. Kakiku menjejak antara patung kota dan pucuk tugu. Dan mataku, pun dengan enak melihat semuanya. Melihat tol yang tergenang. Kampung yang morat-marit. Gedung rakyat yang diluruk. Rumah ibadah yang diseret bandang. Orang-orang yang digusur. Sekumpulan yang dipinggirkan. Penguburan yang ditaburi omelan. Tahun-tahun yang berlalu. Tahun-tahun yang digedruk. Dan juga, seekor ikan paus yang berkelebatan di udara. Ikan paus yang menguik. Menguik dengan begitu mengenaskan. Sampai-sampai aku yang mendengarnya turut terharu. Turut merasa apa yang dirasanya. Dan turut juga mencari apa yang dicarinya. Seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Jerami yang tajam dan gatal. Aku pun terpejam.
“Kenapa? Takut? Bukalah matamu…”
Aku tak berani. Tapi tetap membuka. Tapi gelap.
“Bukalah lagi…”

Aku membuka lagi. Gelap. Kabur. Gelap. Kabur. Meremang. Dan terang. Terang sekali. Lalu seperti cahaya yang terpintal, terang itu pun menyurut. Astaga, aku telah berada di sebuah kebun. Kebun dengan aneka bunga yang elok. Ada yang berwana merah. Putih. Biru. Jingga. Juga yang merambat dan berjuntai. Atau tegak-tegak seperti parang yang terhunus. Dan di kebun itulah seratus, atau mungkin seribu bocah ungu saling kejar. Dan saling canda. Seribu bocah ungu sepertinya tak ada yang beda. Semuanya sama. Dan semuanya pun seperti juga tak berjejak. Tapi mengambang. Mengambang seperti balon. Meloncat ke sana dan ke mari. Tertawa. Dan kadang-kadang saling bergulingan tanpa terluka sedikit pun. “Kau tahu, inilah tempatku. Tempat seribu bocah. Bocah berkulit ungu. Yang jika di papan catur akan menjelma raja. Raja hitam atau putih,” bisik si bocah persis di kupingku.


Tuan pembaca yang baik, itulah, itulah kisah hidupku. Hidupku yang saat ini tinggal di kamar ini. Kamar yang bercat putih-hitam. Cat papan catur. Dan kamar yang tak pernah terbuka. Selalu tertutup. Hanya teriakanku yang terdengar dari dalamnya. Teriakanku yang panjang dan melolong: “Aku tak bermaksud mengorbankan pion itu. Pergi! Pergi!” Ya, ya, begitulah teriakanku itu. Dan aku tak tahu, kenapa teriakan itu selalu aku ulang seperti itu. Apa tidak bosan dan capek? Yang pasti, setiap aku berteriak itu, selalu membayangkan sebuah ketakutan yang amat sangat. Lalu merasa, jika aku sedang dirubung oleh teror. Atau hal yang menggiriskan. Yang jelas, mulutku kini jadi bukan mulu lagi. Tapi semacam lubang yang mendengung. Yang dimasuki sekian tawon ganas yang kehilangan ratunya. Tawon ganas yang mengusung penyengat.

Tuan pembaca yang baik, konon aku yang suka menjerit dan melolong ini memang gila catur. Dan untuk hal ini, aku ingin selalu menang. Tak mau kalah. Dan berusaha selalu di atas angin. Bahkan, jika perlu, sebelum bermain catur, aku mengamati lemari kakekku. Lemari yang penuh dengan patung aneh. Atau rajah kuno yang susah ditebak isinya. Rajah ruwet dengan gambar lelaki bersungut atau bertopeng landak. Yang di sebelahnya sebentuk altar sedang diisi sosok korban yang tengkurap. Korban yang wajahnya begitu datar. Hampir tak berlekuk. Dan untuk menuntaskan semuanya, aku pun tak segan-segan mengemut buah kuda. Harapku: “Jika buah kuda ini aku emut, maka ruh kuda pun dapat aku hisap!” He, he, he, aku memang miring. Miring karena permainan catur.

Dan ya, ya, ya, Tuan pembaca yang sekali lagi baik, aku pikir cukup di sinilah pertemuan kita. Kapan-kapan disambung lagi. Aku ngantuk nih. Mau bobok. Kolestrol naik. Darah tinggi naik. Semuanya naik. Apa yang tak naik? He, he, he jawab dong? Masak dari tadi aku yang nyerocos terus. Oh ya, aku besok juga mau latihan menembak dan menjaring. Aku ingin menembak bagi yang suka jahil. Dan aku ingin menjaring ikan-ikan yang berseliweran di kolong ranjangku. Ikan-ikan yang punya kaki dan tangan. Kaki dan tangan yang sering memukuli dan menendangi ranjangku. Dan aku yang tertidur pun terguncang-guncang. Bahkan, malah kadang-kadang terlompat ke atas. Menyundul atap kamar. Menempel di sebelah cicak yang ekornya putus. Apa Tuan pembaca yang baik mau ikut?

He, he, he nanti sajalah. Jika memang aku sudah terlatih. Aku akan mengajari Tuan pembaca. Mau kan? Kini, silahkan pergi dulu. Oh ya, lewat jendela saja. Jangan lewat pintu. Sebab pintu itu telah aku palang. Biar tak ada yang menggangu, jika sewaktu-waktu, bocah ungu yang mengambang, yang merupakan sosok raja di permainan catur itu, datang dan berkata: “Kenapa kau tinggalkan aku. Jangan takut. Bukalah matamu. Ayo, bukalah matamu,” Dan jangan lupa juga, sehari dua kali aku selalu dikunjungi si suster dan si dokter gemuk. Si suster dan si dokter gemuk yang aku benci. Sebab, keduanya tak punya hormat. Masuk ke kamar lewat lubang kunci tanpa salam. Padahal membawa sepiring pil. Pil yang sebesar tai kambing. Yang jika aku minum, selalu menerbangkan apa yang ada di anganku. Sampai-sampai aku tak tahu lagi: “Apakah masih ada atau malah sudah jadi kepompong!”

(Gresik, 2008)

Read More......

Minggu, 24 Agustus 2008

Sajak Mardi Luhung

Tepi

Aku berada di lautan puisiku. Lautan itu tak bertepi. Aku ingin
menangkap ikan tambun kuning. Tapi, aku malah dapat yang hitam:
“Ikan tambun hitam!" Dari ikan tambun hitam aku menyuling cat.
Cat yang berliter-liter. Aku ingin mengecat semuanya. Agar
menjadi hitam seperti dekor tonil. Tonil tentang bapak
yang selalu berganti kulit.
Di dalam tonil aku mengelem rambutku. Memasang sayap dan
tengkurap di atas meja. Di depanku telah masuk tokoh. Tokoh garang
bunting 9 bulan. Kata tokoh itu: “Mainkan aku dengan yang selalu
merapikan celana dalamnya. Yang persis di depannya ada
gambar mawar disilang tengah!"
Aku buru-buru melengos. Lalu aku memberinya tikus:
“Jangan masukkan tikus ini ke pikiranmu!" sergahku. Terus
terbang ke bulan. Terbang di atas kepala para pengendus yang
berseloroh aku telah menemukan! Di bulan aku merasa rindu rumput.
Tapi rumput telah menjelma jumput. Aku ingin digambar.
Tapi siapa yang akan menggambar.
Dan aku juga merasa rindu sepedaku. Rindu pada bannya.
Rindu pada tanah yang menempel di bannya. Tanah yang telah
menumbuhkan mambang dan yang rajin menggali kuburan.
“Tapi, setiap ada yang dikubur, mengapa wajahku yang selalu tampak?"
Aku pun berbicara pada diriku sendiri. Dan aku teringat pada
sahabatku yang telah menjual ginjalnya.
Sahabatku yang pusing ketika mendengar pidato begini:
“Aduh, jangan ribut, ini negara, bukan pasar!" Dan kata sahabatku itu:
“Om, Om, itu tadi dengus kerbau kan?" Aku pun jadi tersenyum.
Senyumku demikian datar. Sedatar kaki ibu yang melayang. Kaki ibu
yang keluar dari malam. Kaki ibu yang cemerlang. Dan kaki ibu yang
mengajari aku agar berdandan:
“Oh, tanyakan apa aku mau ke pesta?" Sayangnya, di bulan tak ada
pesta. Sedangkan, di bumi, lihatlah, lautan puisiku semakin tak bertepi.

(Gresik, 2008)

Mardi Luhung tinggal di Gresik, Jawa Timur. Salah satu buku puisinya berjudul Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007).

Read More......