Selasa, 16 September 2008

PERAHUKU

Mardi Luhung
Jurnal Nasional 14 Sep 2008

Umi dan Abi pergi ke taman kampung. Umi berkebaya sedap. Abi berbaju koko. Kata keduanya: “Kami ingin naik sepur kelinci yang panjang!” terus tersenyum. Senyum yang lepas. Dan membuntut di belakang sepur kelinci yang panjang itu. Seperti buntut layang-layang yang tertempa oleh angin. Meriah dan menyala. Dengan warna yang terang. Warna yang ketika masuk ke dalam mimpiku, akan mewarnai relungnya. Sampai membuat mimpiku merajuk: “Tolong, jangan, jangan bangunkan aku dari ini semua!” Dan senyum yang mengingatkan aku pada yang bertumbuhan di kelebatan bulumu. Yang kerap kau warnai. Yang sesekali menggumpal. Dan sesekali bergerai. Meluncurkan perahuku yang aku anyam dari puisi.

Perahuku yang aku anyam dari puisi?

Ya, ya, perahuku memang aku anyam dari puisi. Puisi yang kata-katanya aku petik dari butir embun yang menetes. Jatuh ke sayap kepik. Memantul. Dan membuat rona yang kelap-kelip. Rona yang sering memasuki mata. Membangun sebuah kolam air yang lonjong. Kolam air yang jernih. Yang kata kabar, tempat tujuh bidadari turun dari surga dan keramas di situ. Lalu seorang pemburu datang. Menembakkan senapannya. Tujuh bidadari pun lenyap sambil menebar ancaman: “Seumur-umurnya, kau, pemburu, akan terlunta-lunta. Seperti terlunta-luntanya si penjual. Sebab telah menjual si orang suci dengan dua karung keping emas. Dua karung keping emas yang kelak akan menjelma besi yang menggembol di punggung!”

Dan si penjual yang kelak akan turun-naik bukit. Sebab dikejar sesal. Diburu awas: “Aku tak sengaja! Aku tak sengaja, menjual si orang suci itu!” terus hilang di balik hutan onak. Dan sekian abad ke depan, rimbun hutan onak itu akan menjadi teka-teki. Teka-teki tentang pengkhianatan sebuah kesetiaan. Juga pembalasan kekelabuan yang ada di tempat yang tak terjangkau. Kekelabuan yang sesekali muncul di dalam angan atau di sela genta. Genta yang digoyang-goyang oleh si pengkotbah. Yang sering berkotbah semacam ini: “Bangun, bangunlah hai orang yang lalai mendengar. Orang yang selalu berjalan di musim panas dan dingin. Di musim yang selalu membuat kau menjadi menghormati setiap yang layak untuk dihormati!”

Tapi selamu: “Apa perahumu yang meluncur itu punya kemudi?” Wah, aku tak menggubris. Sebab, aku tetap terpukau pada Umi dan Abi. Yang asyik di sepur kelinci yang panjang itu. Lihatlah, keduanya bahagia. Ada musim panen yang tak mau pamit. Dan ada kibaran benderang di musim itu. Yang di bawahnya, kebun palawija dan rempah pun saling hilir dan sihir. Kebun palawija dan rempah yang dijaga si orang-orangan yang terus menegak. Si orang-orangan yang punya tangan dari jerami. Sedang, topinya pun tampak kebesaran. Menutupi wajahnya yang terbikin dari labu kering. Labu yang cokelat dan keling. Seakan menyimpan hangat matahari. Matahari yang pernah diketapel oleh si anak nakal. Dan gumpilannya dipungut untuk diberikan kepada si adik. Yang berkilah: “Kakak, Kakak, ayo, ketapelkan matahari untukku!”

Dan waktu itu, si adik berbaju kuning. Berpita merah. Dan bersepatu putih. Tanpa kaos kaki dan topi. Dari lentik matanya, seperti ingin meringkus setiap yang dipandangnya. Untuk kemudian dilipat dan diremas-remas menjadi secangkup lempung basah. Lempung basah yang akan dengan mudah dijadikan rumah dengan segala isinya. Termasuk juga dua ekor kucing gemuk. Kucing yang selalu ditemui di genting. Ketika gerhana bulan tiba. Dan musim kawin membuka selubungnya.


Selanjutnya, menurut bisik-bisik, setelah si adik menerima gumpilan matahari, pun menelannya. Dan seketika itu pula, si adik pun menjelma cahaya. Cahaya yang melintas. Melintas dengan kecepatan yang tinggi. Seperti seekor naga yang bergegas. Naga yang menyala yang menggores angkasa di malam hari. Dan menurut bisik-bisik yang lain, jika siapa saja melihat goresan di angkasa itu, maka setiap permintaannya akan terpenuhi. Oleh karenanya, tak salah jika goresan di angkasa itu dirindukan bagi yang ingin merengkuh harap. Termasuk juga meringkus cemas. Dan doanya adalah: “Naga lewat, semua selamat. Naga pergi, jangan melambai. Segala amanat, tak terkhianat!”

Dan kelak, siapa saja tahu, jika naga itu akan berhenti di sebuah negeri. Kawin. Beranak. Dan mati dalam wujud seonggok batu. Batu bening yang tersepuh binar keemasan. Batu yang selalu diziarahi para pasangan kekasih. Agar mereka tetap setia. Sampai kakek-kakek dan nenek-nenek. Sampai di antara mereka ada yang mengembuskan napas terakhir. Dan berbisik: “Aku tunggu kau, aku tunggu kau. Tak ada yang bisa melenyapkan kenangan kita. Sebab, sekali telah tertulis di jantung ini, siapa yang mampu menghapusnya…”

Lalu, aku berangan: “Apa kelak kita bisa sebahagia mereka?” Ya, ya, di depan cerminmu aku pun mencoba menelisik tubuhku. Tubuh yang hijau. Hijau yang bening. Dan bening yang menampakkan setiap isi perutnya. Menampakkan dirimu yang ada di balik usus. Dan sergahku: “Mengapa kau bersembunyi di balik ususku? Apa kau tetap tak ingin pulang?” Kau menggeleng. Gelengan yang tak begitu tegas. Apa kau ragu? Apa juga kau punya pilihan yang tak terduga? Pilihan yang selalu muncul-hilang seperti bayangan si burung bul-bul. Si burung bulbul yang membuat segenap kampung ribut. Ingin memburu dan menangkapnya. Agar dapat dijadikan hidangan bagi sang raja. Sang raja yang sakit tapi tak mati-mati. Sang raja yang telah membunuh dan memakan 1.000 istrinya. Sampai istri yang ke-1001 datang dan menyadarkannya. Menyadarkan dengan hikayat yang sambung-bersambung. Hikayat yang kelak akan dibaca oleh siapa saja yang percaya pada cinta dan pengorbanan. Hikayat yang menempel di sebentuk potongan tangan.

“Tapi, aku juga mengenal potongan tangan yang lain?” sergahmu tiba-tiba.

“Potongan tangan yang lain! Potongan tangan apa?”

Ternyata dari sergahanmu itu, aku jadi tahu, jika potongan tangan yang lain, yang kau kenal itu telah gosong. Keling, liat dan cenderung ingin menangkapi angin. Dan antara membuka dan menutupnya seperti tak berbeda. Sama-sama normal tapi bebal. Potongan tangan yang pernah diceritakan saat dunia masih dihuni para penyihir. Yang menyihir tongkat jadi ular. Ular jadi belalang. Belalang jadi gunung. Gunung jadi rumput. Rumput jadi kambing. Kambing jadi kembang. Kembang jadi kayu. Kayu jadi angin. Angin jadi genting. Genting jadi kodok. Kodok jadi pipi. Pipi jadi ludah. Ludah jadi daging. Daging jadi jalan. Dan jalan jadi jarak panjang yang berkelok. Jarak panjang yang pergi tapi tak pernah pulang. Terus dan terus melangkah. Ke mana? Lagi-lagi tak jelas.

Dan akh, ketika aku ingin tahu itu potongan tangan milik siapa? Kau pun cuma menunjuk pada si bugil yang datang dari arah lain. Si bugil yang kerahasiaannya telah tersilang. Yang lehernya jenjang. Tapi, justru di leher itu selingkar ijuk terlingkar. Dan si bugil yang seluruh tubuhnya berwarna selang-seling. Ada hijau, kuning, cokelat, merah, jingga juga ungu. Yang menyalanya silih-ganti. Tergantung pada tempat yang ditempatinya. Jadi, barangkali si bugil mirip bunglon yang berwujud manusia. Bunglon yang pernah dibisikkan oleh si pengigau. Ketika dua kupingnya telah diiris sendiri. Dan ketika di ubun-ubunnya telah melingkar asap berat. Yang sesekali menjelma mulut buas. Sesekali lain, menjelma bibir yang merangsang.

Lalu potongan tangan gosong itu pun menarik ijuk yang melingkar di leher si bugil. Sampai si bugil mendekat. Menjilat. Dan menyergah: “Kekasihku, kerinduan kita untuk menjadi sepasang mambang, adalah kerinduan yang begitu melelahkan. Padahal, pantai demikian jauh. Kelenyapan demikian merayap.” Seperti rayapan seekor cecak di tembok licin. Pelan, pelan, pelan dan pelan. Sambil mendengarkan tangisan manja si wanita pada si lelakinya. Tangisan manja yang selalu bertanya seperti ini: “Sayang, cecak itu bicara apa? Adakah dusta? Adakah luka? Adakah yang tak terketahui padaku?” Ya, karena si lelakinya cuma tersenyum, maka saat itu juga, si wanita pun mengakhiri hidupnya persis di bawah patung si dewa kasmaraan.

Si dewa kasmaran yang pernah menikam ayahnya yang berwujud anjing. Lalu menendang sampan jadi gunung. Sebab tak tahu, jika dia mencintai soal yang salah. Padahal, menurutnya, cinta bukan merupakan sebuah kekeliruan. Melainkan, sebuah rasa yang tak diketahui: dari mana datangnya, siapa yang mendatangkannya, dan mengapa mesti datang? Dan mengapa pula, bagi setiap yang didatangi selalu mesti berpikir dulu. Dan mesti mencari jawab, pada orang-orang suci yang telah menusuk dua matanya. Agar menjadi buta dan tidak dibutakan oleh cinta. Grrrrrhhh, si dewa kasmaran benar-benar marah waktu itu.

Malamnya, taman kampung pun padam. Pengunjung pulang. Dan sepur kelinci yang panjang itu pun teronggok seperti bangkai. Bangkai yang melingkar. Bangkai yang tak lagi punya kekuatan dan daya. Kecuali pasrah dan menerima segala tiba. Apakah nanti menjadi padam, remang atau malah sesekali menggeliat. Seperti digeliatkan oleh sesuatu yang tak pernah putus. Sesuatu yang pernah menulis setiap nama (termasuk namaku dan namamu), di selembar daun. Sedangkan, dari kursi bekas yang dipakai Umi dan Abi, aku melihat tangan gosong dan si bugil itu sedang berpelukan. Berpelukan lama. Lama sekali. Dan dari balik remang, pelukan keduanya mengingatkan aku pada sebentuk lambang purba. Dari sebuah hutan yang selalu ditakaburi bandang.

“Mengapa kau masih bersembunyi di balik ususku?”

Perahuku yang aku anyam dari puisi pun terus meluncur.


Ya, ya, perahuku yang aku anyam dari puisi memang terus meluncur. Meluncurkan diriku. Juga meluncurkan dirimu yang bersembunyi di balik ususku. Dan perahuku ini melewati setiap ketinggian yang membentang. Ketinggian yang begitu luas. Dan begitu membuat dirinya kelak akan menjelma debu. Debu alit. Debu yang segera meragukan diri sendiri. Apakah benar dirinya terus bisa meluncur dan bahagia? Atau malah remuk dan lenyap disaput waktu.

Disaput waktu!

(Gresik, 2008)

Tidak ada komentar: